BIOGRAFI
AL HABIB ‘ALI BIN SYECH ABU BAKAR BIN SALIM
Al Habib lahir dari pasangan penuh berkah Habib Abu bakar
bin Sholeh B.S.A. dan Syarifah Nur binti Ibrohim bin Yahya, sejak kecil beliau
dididik langsung oleh kedua orangtuanya dengan pendidikan agama yang terbaik.
Ayah beliau, Habib Abu Bakar, yang lahir di kota 'Inat Hadromaut adalah cucu se
orang Wali Besar yaitu Habib ‘Ali bin Ahmad B.S.A., salah satu murid Al Imam Al
Quthub Al Habib ‘Abdullah bin Alwi bin Muhammad Al Haddad Shohiburrothib.
Tradisi tarbiyah (pendidikan) keilmuan yang diterima
Habib ‘Ali bin Ahmad dari gurunya ini dan guru-gurunya yang lain, serta dari
generasi habib sebelumnya, beliau pegang teguh dan diteruskannya kepada para
muridnya, keluarganya, anak-cucunya, dan begitu seterusnya. Demikianlah, hingga
sampailah kepada salah seorang cucunya yang bernama Abu Bakar, yang kemudian
meneruskan tarbiyah itu kepada putranya yang bernama ‘Ali, yang di kemudian
hari dikenal sebagai Pangeran Syarif ‘Ali. Pangeran Syarif ‘Ali atau Habib ‘Ali
bin Abu Bakar bin Sholeh bin ‘Ali bin ‘Ahmad Bin Syech Abu Bakar bin Salim
Asseggaf, lahir di kota Palembang, pada tahun 1208 H/1790 M, atau lebih kurang
sekitar 220 tahun yang lalu. Pada masa itu, Kesultanan Palembang Darussalam
dipimpin seorang sultan yang sholeh, yaitu Sultan Muhammad Bahauddin, putra
sultan terdahulu, Ahmad Najamuddin I.
Gelar Pangeran yang disandang beliau adalah karena
kedekatan dirinya dengan keluarga besar Kesultanan Palembang Darussalam, baik
secara nasab, pertalian pernikahan, maupun kedudukannya sendiri di dalam
lingkungan pemerintahan Kesultanan Palembang Darussalam. Nenekn beliau dari
sebelah ibu adalah cucu Sultan Mahmud Badaruddin Sedangkan salah seorang
istrinya, yang bernama Laila atau bergelar Ratu Maliya adalah putri Sultan
Husein Dhiauddin.
Ibundanya yaitu Syarifah Nur binti Ibrahim Bin Yahya, adalah seorang wanita sholehah putri seorang Al Allamah Habib Ibrohim bin Zein bin Yahya,beliau adalah Ahli Tasawwuf. Pangeran Syarif ‘Ali mendapatkan banyak pelajaran dari ibunya sendiri di samping tambahan pelajaran lainnya dari para paman beliau, seperti Habib ‘Abdullah bin Ibrohim dan Habib Syech bin Ibrohim, serta dari banyak ‘ulama lainnya pada masa itu.
Ibundanya yaitu Syarifah Nur binti Ibrahim Bin Yahya, adalah seorang wanita sholehah putri seorang Al Allamah Habib Ibrohim bin Zein bin Yahya,beliau adalah Ahli Tasawwuf. Pangeran Syarif ‘Ali mendapatkan banyak pelajaran dari ibunya sendiri di samping tambahan pelajaran lainnya dari para paman beliau, seperti Habib ‘Abdullah bin Ibrohim dan Habib Syech bin Ibrohim, serta dari banyak ‘ulama lainnya pada masa itu.
Diriwayatkan, beliau memiliki koleksi hingga sekitar
seribu kitab. Untuk ukuran saat itu, jumlah sebanyak itu tentu sangat
spektakuler. Ini menunjukkan kecintaan-nya pada ilmu sekaligus keluasan ilmu
beliau yang mendalam.
Masa kecil beliau, sebagaimana putra-putri keluarga
‘Alawiyyin lainnya, selalu berada dalam lingkungan pendidikan agama, baik dari
orangtuanya sendiri maupun dari para guru. Disebutkan, sejak kecil
kecerdasannya terlihat menonjol dan beliau memiliki banyak teman sepergaulan
yang berpendidikan. Bersama orang tuanya, Pangeran Syarif ‘Ali sering
mengunjungi kesultanan, hingga
beliau pun memiliki kedekatan dengan sultan kala itu.
beliau pun memiliki kedekatan dengan sultan kala itu.
Menginjak remaja, Pangeran Syarif ‘Ali giat melakukan
pelayaran niaga, terutama ke Kalimantan dan Jawa. beliau arungi lautan yang
luas dengan kapal kayu pinisi sederhana, di tengah ancaman badai besar dan
gelombang laut yang kerap datang menghadang. Belum lagi ancaman kehadiran
kawanan bajak laut yang sangat marak pada saat itu. Ganasnya alam telah
membentuk kepribadiannya yang dikenal sebagai seorang yang gagah berani, teguh
pendirian, tidak banyak bicara, dan bersikap tegas dalam menangani persoalan.
Suatu saat, Sultan Husein Dhiauddin meminta beliau menyelesaikan
sebuah misi khusus kesultanan ke Pulau Kalimantan. Maka karena berhasil
menyelesaikan misi tersebut itulah beliau, yang masih dalam usia relatif muda,
dipercaya Sultan memegang jabatan bendahara kesultanan dan dinikahkan dengan
salah satu putrinya, Raden Ayu Maliya. Dari pernikahannya dengan putri sultan ini,
beliau mendapat putra bernama Hasan, yang setelah dewasa memutuskan untuk
hijrah ke negeri lain. Berbekal sejumlah uang dan wasiat pemberian ayah beliau,
berangkatlah Habib Hasan bin Pangeran Syarif ‘Ali dengan kapal ayahbeliau
berlayar ke arah timur. Namun tidak sampai ke tujuan, karena kapalnya karam di
Selat Bangka atau Belitung dan dia selamat mendarat di suatu kampung nelayan.
Dari buku Sejarah Daerah Sumatera Selatan (Depdikbud,
1991-1992), disebutkan, masjid yang pertama ada di Pulau Belitung didirikan
oleh Sayyid Hasan bin Syech Abu Bakar. Belum diketahui, apakah nama ini ada
hubungannya dengan putra Pangeran Syarif ‘Ali yang juga bernama Hasan.
Pangeran Syarif ‘Ali, dalam usia yang relatif muda, telah dipercaya memegang jabatan bendahara kesultanan. Namun beliau hadir di lingkungan istana pada masa-masa pahit yang dialami keluarga sultan.
Pangeran Syarif ‘Ali, dalam usia yang relatif muda, telah dipercaya memegang jabatan bendahara kesultanan. Namun beliau hadir di lingkungan istana pada masa-masa pahit yang dialami keluarga sultan.
Dalam suasana kebencian kepada Belanda setelah kesultanan
dilumpuhkan dan kemudian dihapuskan, terjadilah keresahan di tengah-tengah
rakyat.
Mengantisipasi hal ini, sejalan pula dengan politik kolonial, setelah meneliti beberapa pilihan pribadi, di antaranya yang dinilai paling berpengaruh di kalangan keluarga kesultanan dan di kalangan masyarakat umum, Belanda mengangkat Pangeran Syarif ‘Ali sebagai Pegawai Tinggi Pembantu Residen untuk menjalin hubungan dengan semua golongan masyarakat.
Mengantisipasi hal ini, sejalan pula dengan politik kolonial, setelah meneliti beberapa pilihan pribadi, di antaranya yang dinilai paling berpengaruh di kalangan keluarga kesultanan dan di kalangan masyarakat umum, Belanda mengangkat Pangeran Syarif ‘Ali sebagai Pegawai Tinggi Pembantu Residen untuk menjalin hubungan dengan semua golongan masyarakat.
Pangeran Syarif ‘Ali merasakan hal ini sebagai sebuah
dilema. Kekuatan tentara kesultanan telah dilumpuhkan. Dapat ditebak, bila
beliau menolak, hukuman seperti yang diterima ayah mertuanya juga akan ia
dapat. Bila diterima, beliau hanya menjadi alat musuh, yang waktu itu sangat
memerlukannya.
Mempertimbangkan banyak hal, sosok yang selalu tak lepas
dari sorban dan jubah itu akhimya memutuskan untuk menerima jabatan tersebut,dengan catatan, ia tak berkenan duduk di meja kerjanya di kantor Residen. Dalam
pelaksanaan tugasnya sehari-hari, beliau pun ingin dibantu oleh putra beliau
Abu Bakar, atau dikenal dengan Pangeran Bakri.
Meski tampaknya tidak menyukai kehadiran Pangeran Syarif
‘Ali, yang selalu mengenakan pakaian ke’ulamaannya, Residen Belanda saat itu
memerlukan pengaruhnya. Maka, persyaratan itu pun dapat diterimanya. L.W.C. van
den Berg menyebutkan, Belanda telah menggunakan pengaruhnya dan pengaruh
putranya selama hampir setengah abad. Sebaliknya, Pangeran Syarif ‘Ali
sebenarnya tak sudi berhubungan dengan mereka. Karenanya, uang gajinya, yang
tergolong amat besar pada saat itu, selama ber-puluh-puluh tahun lamanya, tak
satu sen pun beliau ambil. Untuk lebih mengetahui asal-usul keluarga Pangeran Syarif Ali, berikut
sekilas perjalanan leluhurnya dari negeri Hadhramaut ke Palembang, sebuah
kota yang dulunya sempat dikenal sebagai "Hadhra-maut Tsani", atau
Hadhramaut Kedua.
Setiap kabilah keluarga di Hadhramaut biasanya
memiliki seseorang yang dituakan untuk memimpin. Istilahnya munshib. Dalam
keluarga, fungsi seorang munshib adalah sebagai imam dalam hal keagamaan,
panglima di medan pepe-rangan, serta menjadi hakim kaia mengadili perkara
keluarganya. Datuk nya Pangeran Syarif Ali, yang juga bernama sama
dengannya, yaitu Habib Ali (bin Ahmad), semasa hidupnya menjabat munshib bagi
keluarga Syaikh Abubakar bin Salim. Sebagai seorang munshib, ia memang dikenal
akan keluasan ilmu agamanya, tegas dalam mengambil keputusan, serta berani
menghadapi orang yang memusuhi komunitasnya. Imam Abdullah bin Alwi Al-Haddad adalah salah seorang
guru Habib Ali bin Ahmad. Selain mengarungi samudera, ilmu sang guru yang
melimpah ruah, dari gurunya ini ia juga banyak mendapatkan ijazah awrad atau
amalan wirid-wirid.
Habib Ali wafat di kota 'Inat pada 1730 M. Dari hasif pemikahannya dengan Syarifah Aisyah binti Hamid bin Alwi bin Idrus Bin Yahya, ia mendapat sejumlah putra dan putri: Shalih, Ahmad, Salim, Abdullah, Thalhah, Alwiyah, dan Muznah.
Habib Ali wafat di kota 'Inat pada 1730 M. Dari hasif pemikahannya dengan Syarifah Aisyah binti Hamid bin Alwi bin Idrus Bin Yahya, ia mendapat sejumlah putra dan putri: Shalih, Ahmad, Salim, Abdullah, Thalhah, Alwiyah, dan Muznah.
Setelah Habib Ali wafat, salah seorang
putranya yang bernama Shalih di-percaya keluarganya untuk menerima panji-panji
Bairaq, bendera lambang keluarga besar Bin Syaikh Abubakar. Artinya penyerahan kepemimpinan
dirinya sebagai seorang munshib. Hingga suatu saat, jabatan munshib tersebut ia limpahkan kepada
saudara-nya, Ahmad, karena ia bermaksud meng-antarkan sang putra, Abubakar,
yang kala itu masih berusia belia, untuk hijrah ke negeri nan jauh di seberang
lautan, Palembang. Masa itu nama Palembang memang sudah dikenal di Hadhramaut sebagai negeri
yang makmur dan rakyatnya bersahabat. Sultannya menghargai kalangan aiim ulama
serta memerlukan orang yang dapat membantunya dalam perdagangan biji timah dan
lada di Bangka, serta hasil hutan dan kayu dari kawasan Sumatera Selatan
lainnya. Karenanya, pada saat itu, sudah banyak orang dari Hadhramaut yang
pergi ke Palembang dan saat kembali ke Hadhramaut mereka menceritakan perihal
kemakmuran negeri Palembang kala itu.
Palembang adalah negeri yang kaya dengan hasil
bumi biji timah dan lada yang melimpah, yang dihasilkan di Pulau Bangka. Hasil
bumi ini telah membangkitkan hasrat kuat bagi pihak Belanda dan Inggris untuk
menguasai Pulau Bangka. Sejak zaman VOC (1602-1799), para sul¬tan Palembang
selalu mendapatkan tekanan dari Belanda. Karena itu, mereka meminta bantuan
saudagar-saudagar. Arab untuk mencari meriam sebanyak-banyaknya untuk pertahanan benteng
kesuftanan yang sedang dibangun. Meriam-meriam itu diperoleh di bekas
benteng-benteng Portugis di India dan Oman, atau dari kapal-kapai perang yang
telah di-tinggalkan di Teluk Persi untuk kemudian dibawa ke Palembang dan
mendapatkan imbalan besar dari Sultan. Berbagai ukuran meriam pun didapat
dengan beragam tulisan yang tergores padanya, hingga benteng sultan Palembang
berhasil mendapatkan 242 pucuk meriam, sementara di Pulau Kembara dan di Plaju
diletakkan 141 pucuk meriam.
Bersama putranya, Habib Shalih pergi berlayar
dari Pelabuhan Hudaidah. Dengan kapal layar dan peralatan navigasi yang masih
sederhana, ia arungi samudera luas. Hudaidah yang dimaksud kemungkinan
merupakan salah satu kota peabuhan di Pantai Selatan Jazirah Arab di sekitar
Mukalla atau Syihr, bukan yang terdapat di Pantai Laut Merah Yaman Utara. Ini
didasarkan pada banyaknya kota di antara antara Aden dan Muscat yang tercantum
pada peta yang dibuat Hugo Allardt tahun 1650 M, sekitar 25 kota. Dari
kota-kota itu pelayaran ke Timur (India dan Indonesia) dan ke Selatan (Afrika
Timur) lebih dekat bagi orang-orang Yaman Selatan. Kota-kota itu antara lain
Bokum, Al-Gail Bawazir, Al-Hami, Addis, As-Syirma, Al-Qusyair.
Biasanya, pelayaran dari Hadhramaut ke Palembang memakan waktu sekitar delapan bulan sampai satu tahun, tergantung pada musim angin dan lamanya perbaikan kapal di selatan India atau Sri Lanka Di-perkirakan, kedatangannya ke Palembang pada tahun 1755, yaitu di akhir masa kepemimpinan Sultan Mahmud Badaruddin I. Waktu itu, di sana sudah ada beberapa keluarga Alawiyyin yang sudah menetap, di antaranya keluarga Alaydrus, Assegaf, Al-Kaf, Bin Syihabud-din, Bin Yahya, Anggawi, Khaneman, dan sebagainya. Saat itu, Habib Shalih menjadi tamu Habib Ibrahim bin Zen bin Alwi Bin Yahya, seorang ulama ahli sufi yang menjadi menantu sultan Palembang pada saat itu. Karena sama-sama ulama sufi, kedekatan di antara keduanya segera ter-bangun akrab. Selain itu, ibunda Habib Shalih juga dari keluarga Bin Yahya. Keduanya pun segera saja bersepakat untuk menjodohkan Syarifah Nur, putri Habib Ibrahim Bin Yahya dengan Abu-bakar, putra Habib Shalih.
Biasanya, pelayaran dari Hadhramaut ke Palembang memakan waktu sekitar delapan bulan sampai satu tahun, tergantung pada musim angin dan lamanya perbaikan kapal di selatan India atau Sri Lanka Di-perkirakan, kedatangannya ke Palembang pada tahun 1755, yaitu di akhir masa kepemimpinan Sultan Mahmud Badaruddin I. Waktu itu, di sana sudah ada beberapa keluarga Alawiyyin yang sudah menetap, di antaranya keluarga Alaydrus, Assegaf, Al-Kaf, Bin Syihabud-din, Bin Yahya, Anggawi, Khaneman, dan sebagainya. Saat itu, Habib Shalih menjadi tamu Habib Ibrahim bin Zen bin Alwi Bin Yahya, seorang ulama ahli sufi yang menjadi menantu sultan Palembang pada saat itu. Karena sama-sama ulama sufi, kedekatan di antara keduanya segera ter-bangun akrab. Selain itu, ibunda Habib Shalih juga dari keluarga Bin Yahya. Keduanya pun segera saja bersepakat untuk menjodohkan Syarifah Nur, putri Habib Ibrahim Bin Yahya dengan Abu-bakar, putra Habib Shalih.
Setelah beberapa saat tinggal di Palembang,
Habib Shalih pun berkemas untuk pergi kembali'ke negeri asalnya. Se-belum
berangkat, ia meninggalkan nasihat-nasihat keagamaan, mehyerahkan sebuah bairaq
keluarga sebagai ikatan keluarga Syaikh Abubakar bin Salim, dan memberlkan
sebilah pedang wasiat untuk membela diri. Bairaq tersebut sampai sekarang maslh
tersimpan dan beberapa duplikatnyatelah dlbuat. Habib Shalih wafat di Inat dan
dimakamkan di kompleks pemakaman Habib Ahmad bin Salim bin Husen bin Syaikh
Abubakar, tak jauh dari makam Syaikh Abubakar bin Salim.
Habib Abubakar bin Shalih kemudian tinggal di
rumah mertuanya, yaitu di 5 llir Kampung Karang Manggis, di sebuah rumah
panggung berkonstruksi atap bentuk limas, lengkap dengan kijing-kijing di ruang
muka, kemudian bagian yang ter-tinggi dari kijing-kijing itu terletak di ruang
dalam yang terdapat kamar tidur.
Di bagian belakang terdapat garang, yaitu ruangan tak beratap untuk tempat mandi, mencuci, menjemur pakaian, dan sebagainya. Selanjutnya, masih di bagian belakang rumah, terdapat ruang dapur dan kamar tidur. Di pekarangan, dibuat kambang atau kolam tempat penam-pungan air. Di depan rumah ditempatkan jambangan air untuk air tadah hujan.
Di bagian belakang terdapat garang, yaitu ruangan tak beratap untuk tempat mandi, mencuci, menjemur pakaian, dan sebagainya. Selanjutnya, masih di bagian belakang rumah, terdapat ruang dapur dan kamar tidur. Di pekarangan, dibuat kambang atau kolam tempat penam-pungan air. Di depan rumah ditempatkan jambangan air untuk air tadah hujan.
Sekitar tahun 1930-1935, rumah tersebut dijual, kemudian
dipindahkan kese-belah barat Benteng Kuto Besak dan di-jadikan museum.
Ukurannya sedikit di-rombak, menjadi lebih kecil dan lebih rendah dari ukuran
aslinya, dan kini ditempatkan di halaman belakang Museum Bala Putra Dewa, Palembang.
Perabot rumah yang masih tertinggal adalah sebuah tempat tidur yang masih
tersimpan di museum tersebut.
Rumah kayu tersebut masih ada dan dilestarikan
sampai sekarang. Gambar rumah itu bahkan kemudian menjadi sim-bol rumah budaya
daerah Palembang yang sketsa gambarnya tercetak pada cetakan uang pecahah
sepuluh ribu ru-piah saat ini.
Di rumah inilah semua putra-putri Habib Abubakar dibesarkan, termasuk di antaranya adalah Pangeran Syarif Ali.
Di rumah inilah semua putra-putri Habib Abubakar dibesarkan, termasuk di antaranya adalah Pangeran Syarif Ali.
Pangeran Syarif ‘Ali wafat pada 27 Muharram 1295 H/1877 M
dalam usia 87 tahun di kota Palembang. Jenazah beliau dimakamkan di kompleks
pemakaman keluarga, yaitu di Gubah 3 ilir Palembang. Kedudukannya dalam hal keilmuan digantikan oleh putra beliau, Habib
Muhammad Mahmud. Sedangkan dalam hal aktivitas beliau di kesultanan, digantikan
oleh putra beliau, Habib Abu Bakar, atau dikenal dengan Pangeran Bakri.
sumber: http://kesultanan-palembang.blogspot.com/2013/12/pangeran-syarif-ali-palembang.html. Diakses pada hari Rabu,15 Januari 2014 pukul 14.30 wib
Tidak ada komentar:
Posting Komentar